Rabu, 24 April 2013

TETANUS NEONATORUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali..
Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Salah satu kasus yang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah adalah kasus tetanus. Data organisasi kesehatan dunia WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat. Penanganan yang sempurna memegang peranan penting dalam menurunkan angka mortalitas. Tingginya angka kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung pada saat pengobatan dimulai serta pada fasilitas dan tenaga perawatan yang ada.

Di Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi kematian. Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus sudah menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara serius. Tetanus juga terjadi pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum, karena umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan (neonatus). Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat kebersihan.

Penyakit tetanus neonatorum disebabkan oleh pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak bersih. Masih merupakan masalah diindonesia dan Negara berkembang lainnya, meskipun beberapa tahun terakhir kasusnya sudah jarang di Jakarta. angka kematian tetanus neonatorum tinggi dan merupakan  45-75% dari kematian seluruh penderita tetanus.
Menurut Profil Data Kesehatan Indonesia (2012), kasus tetanus neonatorum  di Sulawesi Tenggara berjumlah 1 penderita, meninggal 0 dan case fatality rate(%) 0.0 dari data yang diperoleh pemeriksaan kehamilan dilakukan tradisional, status imunisasi tidak diketahui, penolong tradisional, perawatan tali pusat tidak diketahui, pemotongan tali pusat tidak diketahui dan penderita dirawat di Rumah Sakit.


B.  Perumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah apa Penyakit Tetanus Neonatorum?
C.  Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk mendiskripsikan  mengenai  Tetanus Neonatorum

D.  Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Penulis  dapat  memperoleh  pengetahuan  dan pemahaman mengenai Tetanus Neonatorum
2.         Pembaca dapat  memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai Tetanus Neonatorum



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian
Tetanus neonatorum  adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir (neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Tetanus neonatarom merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabakan adanya infeksi melalui tali pusat. Penyakit ini disebabkan karena clostridium tetani yang bersifat anaerob di mana kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen. Tetanus pada bayi ini dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali pusat yang kurang steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5-14 hari.

B.     Etiologi
Penyakit tetanus neonatorum disebabkan oleh pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak bersih. Masih merupakan masalah diindonesia dan Negara berkembang lainnya, meskipun beberapa tahun terakhir kasusnya sudah jarang di Jakarta. angka kematian tetanus neonatorum tinggi dan merupakan  45-75% dari kematian seluruh penderita tetanus. Penyebab kematian terutama akibat komplikasi antara lain radang paru dan sepsis, makin muda umur bayi saat timbul gejala, makin tinggi pula angka kematian.
Penyebabnya adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)

C.     Mikrobiologi
Kuman ini adalah kuman gram-positif berbentuk batang yang anaerob, motil, yang berbentuk spora terminalis berbentuk lonjong yang tak berwarna. Spora ini menyerupai bentuk raket tenis atau drum stick. Tetanospasmin dibentuk pada sel vegetatif di bawah kendali plasmid. Toksin ini merupakan rantai polipeptida tunggal.

D.     Epidemiologi
                   Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positif. Dapat bergerak dan membentuk spora-spora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah, air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.

E.     Patogenesis
Kontaminasi luka dengan spora mungkin sering. Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka tembak, dimana luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar dan patah tulang terbuka juga akan menimbulkan keadaan anaerob.
Sedangkan pada tetanus neonatorum luka yang terjadi akibat pemotongan tali pusat dengan alat-alat yang tidak steril atau perawatan tali pusat yang salah. Dimana clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Pada neonatus/bayi baru lahir clostridium tetani dapat masuk melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis.
Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk berubah bentuk dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanus sendiri tetap tinggal di daerah luka. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Toksin ini diabsorpsi oleh organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.

F.      Patologi
Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang belakang, dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat spasmus laring pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain ialah pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.

G.    Diagnosis
Diagnosis tetanus neonatorum biasanya dapat ditegakan berdasarkan pemeriksaan klinis. Biasanya tidak sukar, anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang sangat membantu. Biasanya pada pemeriksaan laboratorium didapati peninggian leukosit, pemeriksaan cairan otak biasanya normal, dan pada pemeriksaan elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas muatan unit motorik secara terus-menerus dan pemendekan atau tanpa interval yang tenang, yang biasanya tampak setelah potensial aksi. Keadaan lain yang mungkin dapat dikacaukan dengan tetanus adalah meningitis/ensefalitis, rabies, dan proses intra abdomen akut (karena abdomen yang kaku). Peninggian nyata tonus pada otot pusat (wajah, leher, dada, punggung, dan perut), disertai spasme generalisata yang menjadi tersamar dan bebas gejala pada tangan dan kaki, maka kuat mendukung adanya tetanus.
Diagnose atau masalah keperawatan yang terjadi dengan bayi dengan tetanus neonatorum antara lain: gangguan fungsi pernapasan, gangguan pemenuhan kebutuhan, nutrisi dan kurang pengetahuan (orang tua)

H.    Gejala Klinis
Masa tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat. Anamnesis sangat spesifik yaitu :
  1. Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak dapat menghisap).
  2. Mulut mencucu seperti mulut ikan (hapermond) karena adanya trismus pada otot mulut,sehingga bayi tidak dapat minum dengan baik.
  3. Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis
  4. Kaku kuduk sampai opistotonus, adanya spasme otot dan kejang umum leher kaku dan terjadi opistotonus kondisi tersebut akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat menyebabkan aspirasi
  5. Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang.
  6. Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka rhisus sardonikus
  7. suhu meningkat sampai dengan 39 derajat celcius
  8. Ekstermitas biasanya terulur dan kaku
  9. Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis lemah, masa inkubasinya 3-10 hari.

Tabel Perbandingan Tetanus Neonatorum Sedang dan Berat
Kategori
Tetanus Neonatorum Sedang
Tetanus Neonatorum Berat
Umur
>7 hari
0-7 hari
Frekuensi kejang
Kadang-kadang
Sering
Bentuk kejang
Mulut mencucu, trismus kadang-kadang, kejang rangsang(+)
Mulut mencucu, trismus terus-menerus, kejang rangsang (+)
Posisi Badan
Opistotonus kadang-kadang
Selalu Opistotonus
Kesadaran
Masih sadar
Masih sadar
Tanda infeksi
Tali pusat kotor, lubang telinga bersih/kotor
Tali pusat kotor, lubang telinga bersih/kotor

I.       Komplikasi
a. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
b.  Asfiksia.
c. Atelektasis karena obstruksi oleh sekret.
d. Fraktur kompresi.
e. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan menyebabkangangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada kasus tetanusneonatorum.
f. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan tulang masih belum sempurna
g. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom yang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti jantung (cardiac arrest ). Merupakan penyebab kematian neonatus yang sudah distabilkan jalan napasnya.
h. Sepsis akibat infeksi nosokomial (cth: Bronkopneumonia)
i. Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung)

J.      Pencegahan
1.    Imunisasi aktif
Vaksinasi dasar dalam bentuk toksoid diberikan bersama vaksin pertusis dan difteri ( vaksin DPT). Kadar proteksi antobodi bertahan selama 5-10 tahun sesudah suntikan ‘booster’. Tetanus toksoid (TT) selanjutnya diberikan setiap 10 tahun, kecuali bila mengalami lika yang beresiko terinfeksi, diberikan toksoid bila suntikan terakhir sudah lebih dari 5 tahun sebelumnya atau bila belum pernah vaksinasi. Pada luka yang sangat parah, suntikan toksoid diberikan bila vaksinasi terakhir sudah lebih dari satu tahun

Untuk mencegah tetanus neonatorum, diberikan TT pada semua wanita usia subur atau wanita hamil trimester III, selain memberikan penyuluhan dan bimbingan pada dukun beranak  agar memotong dan merawat tali pusat bayi dengan cara yang semestinya. Dapat terjadi pembengkakakn dan rasa sakit pada tempat suntikan sesudah pemberian vaksin TT

2.    Imunisasi pasif
Diberikan serum anti tetanus (ATS profilaksis) pada penderita lika yang beresiko terjadi infeksi tetanus, bersama-sama dengan TT.

K.     Pengobatan
           Diberikan cairan intra vena (IVFD) dengan larutan glukosa 5% :  NaCl fisiologis = 4 : 1 selama 48 – 72 jam sesuai dengan kebutuhan, sedangkan selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat.
Bila sakit penderita lebih dari 72 jam atau sering kejang atau apnoe, diberikan larutan glukosa 10% : Natrium bikarbonat 1,5% = 4 : 1 (sebaiknya jenis cairan yang dipilih disesuaikan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah).
Bila setelah 72 jam belum mungkin diberikan minuman per oral, maka melalui cairan infus perlu diberikan tambahan protein dan kalium.
  1. Diazepam dosis awal 2,5 mg intra vena perlahan-lahan selama 2 – 3 menit. Dosis rumat 8 – 10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam caian intravena dan diganti tiap 6 jam).
Bila kejang masih sering timbul, boleh diberikan diazepam tambahan 2,5 mg secara intra vena perlahan-lahan dalam 24 jam boleh diberikan tambahan diazepam 5 mg/kgBB/hari. Sehingga dosis diazepam keseluruhan menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinisnya membaik, diazepam diberikan per oral dan diturunkan secara bertahap.
Pada penderita dengan hiperbilirubinemia berat atau makin berat diberikan diazepam per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan diazepam intravena.
  1. ATS 10.000 U/hari dan diberikan selama 2 hari berturut-turut.
  2. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis secara intra vena selama 10 hari.
Bila terdapat gejala sepsis hendaknya penderita diobati seperti penderita sepsis pada umumnya dan kalau fungsi lumbal tidak dapat dilakukan, maka penderita diobati sebagai penderita meningitis bakterial.
  1. Tali pusat dibersihkan dengan alkohol 70% dan betadine.
  2. Perhatikan jalan napas, diuresis dan keadaan vital lainnya. Bila banyak lendir jalan napas harus dibersihkan dan bila perlu diberikan oksigen.

L.     Perawatan
Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002 :
1.      Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis 4-1 selama 48-72 jam.
2.      Diazepam dosis awal 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit
3.      ATS 10.000/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM
4.      Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari
5.      Tali pusat dibersihkan / dikompresi dengan alkohol 70% betadine 10%.
6.      Rawat diruang yang tenang tetapi harus terang juga hangat
7.      Baringkan pasien dengan sikap kepala ekstensi dengan memberikan gajal dibawah bahunya.
8.      Beri O2 1-2 liter/menit
9.      Pada saat kejang pasang sudit lidah
10.    Observasi tanda vital secara continue setiap ½ jam

M.   Penatalaksanaan
a. Gangguan fungsi pernapasan
Pada masalah ini dapat disebabkan kuman yang menyerang otot-otot pernapasan sehingga otot pernapasan tidak berfungsi, adanya spasme pada otot faring juga dapat memyebabkan terkumpulnya liur didalam rongga mulut atau tenggorokan sehingga mengganggu jalan napas.
Untuk mengatasi gangguan fungsi pernapasan, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah : atur posisi bayi dengan kepala ekstensi, berikan oksigen 1-2 liter/ menit dan apabila terjadi kejang tinggikan kebutuhan oksigen sampai 41/menit setelah kejang hilang turunkan, lakukan penghisapan lender dan pasangkan  sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh kebelakang, lakukan observasi tanda vital setiap setengah jam, berikan lingkungan dalam keadaan hangat jangan memberikan lingkungan yang  dingin karena dapat mentebabkan apnea. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian diazepam dengan dosis awal 2,5 mg intra vena selama 2-3 menit kemudian lanjutkan dengan dosis 8-10 mg / kgBB / hari, setelah keadaan klinis membaik dapat dilakukan pemberian diazepam peroral, disamping pemberian diazepam juga dilakukan pemberian ATS dengan dosis 10.000 U/ hari, ampisilin 100mg/kgBB/ hari.
Perawatan saat kejang
Merupakan tindakan dengan memberikan terapi  keperawatan untuk mencegah adanya lidah tergigit, anoksia, pasien jatuh, lidah tidak jatuh kebelakang, menutupi jalan napas dan mencegah kejang ulang, caranya adalah sebagai berikut:
1.    Baringkan pasien dengan terlentang dengan kepala dimiringkan dan ekstensi
2.    Pasang spatel lidah dengan dibungkus kain kasa
3.    Bebaskan jalan napas dengan menghisap lendir
4.    Berikan oksigen
5.    Lakukan kompres
6.    Lakukan observasi terhadap tanda vital dan sifat kejang

b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan cairan
Gangguan nutrisi dan cairan dapat terjadi karena bayi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dengan cara menetek atau minum, untuk itu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan dapat dilakukan dengan melakukan intervensi  keperawatan diantaranya monitoring tanda-tanda dehidrasi dan kekurangan nutrisi seperti in take dan output, membrane mukosa, turgor kulit dan lain-lain, kemudian dapat memberikan cairan melalui infus  dengan  cairan glukosa 10% dan natrium bikarbonat apabila pasien sering kejang dan apnea, apabila kejang sudah berkurang pemberian nutrisi dapat melalui sonde/ pipa lambung dan sejalan dengan perbaikan, pemberian makanan bayi dapat diubah memakai sendok secara bertahap. (Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002).

c. Kurang pengetahuan (orang tua)
Pada masalah keperawatan ini dapat disebabkan karena kurangnya informasi pada keluarga pasien mengingat tindakan pada penyakit ini memerlukan tindakan dan pengobatan khusus sehingga perlu disampaikan kepada keluarga beberapa pengetahuan tentang penyakit dan upaya pengobatan dan perawatannya seperti pemberian suntikan, perawatan pada luka dengan menggunakan alcohol 70% dan kassa steril dan lain-lain.


Daftar pustaka
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia. http://www.depkes.go.id. Update: 28 februari 2012.
Hidayat, AA. 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salaemba Medika.
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: TIM.
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.




Tidak ada komentar: