BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bayi
baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar
bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan
intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali.
Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan
atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali..
Hal
ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus.
Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa
neonatus. Salah satu kasus yang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan
negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah adalah kasus tetanus. Data
organisasi kesehatan dunia WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara
berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya
sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah
gawat. Penanganan yang sempurna memegang peranan penting dalam menurunkan angka
mortalitas. Tingginya angka kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung
pada saat pengobatan dimulai serta pada fasilitas dan tenaga perawatan yang
ada.
Di
Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi kematian.
Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di
bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus sudah
menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara
serius. Tetanus juga terjadi pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus
neonatorum, karena umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu
bulan (neonatus). Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui
luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat
kebersihan.
Penyakit tetanus neonatorum
disebabkan oleh pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak bersih. Masih
merupakan masalah diindonesia dan Negara berkembang lainnya, meskipun beberapa
tahun terakhir kasusnya sudah jarang di Jakarta. angka kematian tetanus
neonatorum tinggi dan merupakan 45-75%
dari kematian seluruh penderita tetanus.
Menurut Profil Data
Kesehatan Indonesia (2012), kasus tetanus neonatorum di Sulawesi Tenggara berjumlah 1 penderita,
meninggal 0 dan case fatality rate(%) 0.0 dari data yang diperoleh pemeriksaan
kehamilan dilakukan tradisional, status imunisasi tidak diketahui, penolong
tradisional, perawatan tali pusat tidak diketahui, pemotongan tali pusat tidak
diketahui dan penderita dirawat di Rumah Sakit.
B. Perumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam
makalah ini adalah apa Penyakit Tetanus Neonatorum?
C. Tujuan
Tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk
mendiskripsikan mengenai Tetanus Neonatorum
D. Manfaat
Manfaat
yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Penulis dapat
memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai Tetanus Neonatorum
2. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai
Tetanus Neonatorum
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian
Tetanus
neonatorum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir (neonatus).
Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang bukan
karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa
neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan
tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Tetanus neonatarom merupakan
tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabakan adanya infeksi melalui
tali pusat. Penyakit ini disebabkan karena clostridium tetani yang bersifat
anaerob di mana kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen. Tetanus pada
bayi ini dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali pusat yang kurang
steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5-14 hari.
B.
Etiologi
Penyakit tetanus neonatorum
disebabkan oleh pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak bersih. Masih
merupakan masalah diindonesia dan Negara berkembang lainnya, meskipun beberapa
tahun terakhir kasusnya sudah jarang di Jakarta. angka kematian tetanus neonatorum
tinggi dan merupakan 45-75% dari
kematian seluruh penderita tetanus. Penyebab kematian terutama akibat
komplikasi antara lain radang paru dan sepsis, makin muda umur bayi saat timbul
gejala, makin tinggi pula angka kematian.
Penyebabnya
adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat anaerob,
berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang
dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan
tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot. (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
C. Mikrobiologi
Kuman
ini adalah kuman gram-positif berbentuk batang yang anaerob, motil, yang
berbentuk spora terminalis berbentuk lonjong yang tak berwarna. Spora ini
menyerupai bentuk raket tenis atau drum stick. Tetanospasmin dibentuk pada sel
vegetatif di bawah kendali plasmid. Toksin ini merupakan rantai polipeptida
tunggal.
D. Epidemiologi
Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positif.
Dapat bergerak dan membentuk spora-spora, terminal yang menyerupai tongkat
penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai
bahan dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan
jika dipanaskan dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam
tanah, asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam
debu, tanah, air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
E.
Patogenesis
Kontaminasi
luka dengan spora mungkin sering. Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka
tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca,
kaleng, atau luka tembak, dimana luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang
ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar dan patah tulang terbuka
juga akan menimbulkan keadaan anaerob.
Sedangkan
pada tetanus neonatorum luka yang terjadi akibat pemotongan tali pusat dengan
alat-alat yang tidak steril atau perawatan tali pusat yang salah. Dimana
clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Pada neonatus/bayi baru
lahir clostridium tetani dapat masuk melalui umbilikus setelah tali pusat
dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis.
Bentuk
spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan
untuk berubah bentuk dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanus
sendiri tetap tinggal di daerah luka. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin
yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Toksin ini diabsorpsi oleh
organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel
ganglion dan susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut
tidak dapat dinetralkan lagi.
F.
Patologi
Kelainan
patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang belakang, dan terutama
pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat spasmus laring
pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan oleh pengaruh
langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain
ialah pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin
sekali merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.
G.
Diagnosis
Diagnosis
tetanus neonatorum biasanya dapat ditegakan berdasarkan pemeriksaan klinis.
Biasanya tidak sukar, anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas
terutama pada rahang sangat membantu. Biasanya pada pemeriksaan laboratorium
didapati peninggian leukosit, pemeriksaan cairan otak biasanya normal, dan pada
pemeriksaan elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas muatan unit
motorik secara terus-menerus dan pemendekan atau tanpa interval yang tenang,
yang biasanya tampak setelah potensial aksi. Keadaan lain yang mungkin dapat
dikacaukan dengan tetanus adalah meningitis/ensefalitis, rabies, dan proses
intra abdomen akut (karena abdomen yang kaku). Peninggian nyata tonus pada otot
pusat (wajah, leher, dada, punggung, dan perut), disertai spasme generalisata
yang menjadi tersamar dan bebas gejala pada tangan dan kaki, maka kuat
mendukung adanya tetanus.
Diagnose atau masalah
keperawatan yang terjadi dengan bayi dengan tetanus neonatorum antara lain:
gangguan fungsi pernapasan, gangguan pemenuhan kebutuhan, nutrisi dan kurang
pengetahuan (orang tua)
H.
Gejala Klinis
Masa
tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika infeksinya
ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi
nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Pada
tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat. Anamnesis
sangat spesifik yaitu :
- Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak dapat menghisap).
- Mulut mencucu seperti mulut ikan (hapermond) karena adanya trismus pada otot mulut,sehingga bayi tidak dapat minum dengan baik.
- Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis
- Kaku kuduk sampai opistotonus, adanya spasme otot dan kejang umum leher kaku dan terjadi opistotonus kondisi tersebut akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat menyebabkan aspirasi
- Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang.
- Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka rhisus sardonikus
- suhu meningkat sampai dengan 39 derajat celcius
- Ekstermitas biasanya terulur dan kaku
- Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis lemah, masa inkubasinya 3-10 hari.
Tabel
Perbandingan Tetanus Neonatorum Sedang dan Berat
Kategori
|
Tetanus Neonatorum Sedang
|
Tetanus Neonatorum Berat
|
Umur
|
>7
hari
|
0-7
hari
|
Frekuensi
kejang
|
Kadang-kadang
|
Sering
|
Bentuk
kejang
|
Mulut
mencucu, trismus kadang-kadang, kejang rangsang(+)
|
Mulut
mencucu, trismus terus-menerus, kejang rangsang (+)
|
Posisi
Badan
|
Opistotonus
kadang-kadang
|
Selalu
Opistotonus
|
Kesadaran
|
Masih
sadar
|
Masih
sadar
|
Tanda
infeksi
|
Tali
pusat kotor, lubang telinga bersih/kotor
|
Tali
pusat kotor, lubang telinga bersih/kotor
|
I.
Komplikasi
a. Spasme otot
faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga mulut
dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia
aspirasi.
b. Asfiksia.
c. Atelektasis karena
obstruksi oleh sekret.
d. Fraktur
kompresi.
e. Laringospasme
yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan menyebabkangangguan
ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada kasus
tetanusneonatorum.
f. Fraktur dari
tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan yang terus
menerus. Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan tulang masih
belum sempurna
g. Hiperadrenergik
menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom yang dapat menyebabkan
takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti jantung
(cardiac arrest ). Merupakan penyebab kematian neonatus yang sudah
distabilkan jalan napasnya.
h. Sepsis
akibat infeksi nosokomial (cth: Bronkopneumonia)
i. Pneumonia
Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun minuman yang
diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung)
J.
Pencegahan
1.
Imunisasi aktif
Vaksinasi
dasar dalam bentuk toksoid diberikan bersama vaksin pertusis dan difteri (
vaksin DPT). Kadar proteksi antobodi bertahan selama 5-10 tahun sesudah
suntikan ‘booster’. Tetanus toksoid (TT) selanjutnya diberikan setiap 10 tahun,
kecuali bila mengalami lika yang beresiko terinfeksi, diberikan toksoid bila
suntikan terakhir sudah lebih dari 5 tahun sebelumnya atau bila belum pernah
vaksinasi. Pada luka yang sangat parah, suntikan toksoid diberikan bila
vaksinasi terakhir sudah lebih dari satu tahun
Untuk
mencegah tetanus neonatorum, diberikan TT pada semua wanita usia subur atau
wanita hamil trimester III, selain memberikan penyuluhan dan bimbingan pada
dukun beranak agar memotong dan merawat
tali pusat bayi dengan cara yang semestinya. Dapat terjadi pembengkakakn dan
rasa sakit pada tempat suntikan sesudah pemberian vaksin TT
2.
Imunisasi pasif
Diberikan serum anti tetanus
(ATS profilaksis) pada penderita lika yang beresiko terjadi infeksi tetanus,
bersama-sama dengan TT.
K. Pengobatan
Diberikan cairan intra vena (IVFD) dengan larutan glukosa 5% : NaCl fisiologis = 4 : 1 selama 48 – 72 jam sesuai dengan kebutuhan, sedangkan selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat.
Diberikan cairan intra vena (IVFD) dengan larutan glukosa 5% : NaCl fisiologis = 4 : 1 selama 48 – 72 jam sesuai dengan kebutuhan, sedangkan selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat.
Bila
sakit penderita lebih dari 72 jam atau sering kejang atau apnoe, diberikan
larutan glukosa 10% : Natrium bikarbonat 1,5% = 4 : 1 (sebaiknya jenis cairan
yang dipilih disesuaikan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah).
Bila
setelah 72 jam belum mungkin diberikan minuman per oral, maka melalui cairan
infus perlu diberikan tambahan protein dan kalium.
- Diazepam dosis awal 2,5 mg intra vena perlahan-lahan selama 2 – 3 menit. Dosis rumat 8 – 10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam caian intravena dan diganti tiap 6 jam).
Bila
kejang masih sering timbul, boleh diberikan diazepam tambahan 2,5 mg secara
intra vena perlahan-lahan dalam 24 jam boleh diberikan tambahan diazepam 5
mg/kgBB/hari. Sehingga dosis diazepam keseluruhan menjadi 15 mg/kgBB/hari.
Setelah keadaan klinisnya membaik, diazepam diberikan per oral dan diturunkan
secara bertahap.
Pada
penderita dengan hiperbilirubinemia berat atau makin berat diberikan diazepam
per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan diazepam intravena.
- ATS 10.000 U/hari dan diberikan selama 2 hari berturut-turut.
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis secara intra vena selama 10 hari.
Bila
terdapat gejala sepsis hendaknya penderita diobati seperti penderita sepsis
pada umumnya dan kalau fungsi lumbal tidak dapat dilakukan, maka penderita
diobati sebagai penderita meningitis bakterial.
- Tali pusat dibersihkan dengan alkohol 70% dan betadine.
- Perhatikan jalan napas, diuresis dan keadaan vital lainnya. Bila banyak lendir jalan napas harus dibersihkan dan bila perlu diberikan oksigen.
L.
Perawatan
Menurut
Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002 :
1.
Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis 4-1
selama 48-72 jam.
2.
Diazepam dosis awal 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit
3.
ATS 10.000/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM
4.
Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari
5.
Tali pusat dibersihkan / dikompresi dengan alkohol 70% betadine 10%.
6.
Rawat diruang yang tenang tetapi harus terang juga hangat
7.
Baringkan pasien dengan sikap kepala ekstensi dengan memberikan gajal dibawah
bahunya.
8.
Beri O2 1-2 liter/menit
9.
Pada saat kejang pasang sudit lidah
10.
Observasi tanda vital secara continue
setiap ½ jam
M.
Penatalaksanaan
a. Gangguan fungsi pernapasan
Pada masalah ini dapat disebabkan kuman yang
menyerang otot-otot pernapasan sehingga otot pernapasan tidak berfungsi, adanya
spasme pada otot faring juga dapat memyebabkan terkumpulnya liur didalam rongga
mulut atau tenggorokan sehingga mengganggu jalan napas.
Untuk mengatasi gangguan
fungsi pernapasan, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah : atur posisi
bayi dengan kepala ekstensi, berikan oksigen 1-2 liter/ menit dan apabila
terjadi kejang tinggikan kebutuhan oksigen sampai 41/menit setelah kejang
hilang turunkan, lakukan penghisapan lender dan pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh
kebelakang, lakukan observasi tanda vital setiap setengah jam, berikan
lingkungan dalam keadaan hangat jangan memberikan lingkungan yang dingin karena dapat mentebabkan apnea.
Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian diazepam dengan dosis awal
2,5 mg intra vena selama 2-3 menit kemudian lanjutkan dengan dosis 8-10 mg /
kgBB / hari, setelah keadaan klinis membaik dapat dilakukan pemberian diazepam
peroral, disamping pemberian diazepam juga dilakukan pemberian ATS dengan dosis
10.000 U/ hari, ampisilin 100mg/kgBB/ hari.
Perawatan saat kejang
Merupakan tindakan dengan
memberikan terapi keperawatan untuk
mencegah adanya lidah tergigit, anoksia, pasien jatuh, lidah tidak jatuh
kebelakang, menutupi jalan napas dan mencegah kejang ulang, caranya adalah
sebagai berikut:
1.
Baringkan pasien dengan terlentang dengan
kepala dimiringkan dan ekstensi
2.
Pasang spatel lidah dengan dibungkus kain
kasa
3.
Bebaskan jalan napas dengan menghisap lendir
4.
Berikan oksigen
5.
Lakukan kompres
6.
Lakukan observasi terhadap tanda vital dan
sifat kejang
b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan
cairan
Gangguan nutrisi dan cairan
dapat terjadi karena bayi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dengan cara
menetek atau minum, untuk itu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan dapat
dilakukan dengan melakukan intervensi
keperawatan diantaranya monitoring tanda-tanda dehidrasi dan kekurangan
nutrisi seperti in take dan output, membrane mukosa, turgor kulit dan lain-lain,
kemudian dapat memberikan cairan melalui infus
dengan cairan glukosa 10% dan
natrium bikarbonat apabila pasien sering kejang dan apnea, apabila kejang sudah
berkurang pemberian nutrisi dapat melalui sonde/
pipa lambung dan sejalan dengan perbaikan, pemberian makanan bayi dapat diubah
memakai sendok secara bertahap. (Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, 2002).
c. Kurang pengetahuan (orang tua)
Pada masalah keperawatan ini
dapat disebabkan karena kurangnya informasi pada keluarga pasien mengingat
tindakan pada penyakit ini memerlukan tindakan dan pengobatan khusus sehingga
perlu disampaikan kepada keluarga beberapa pengetahuan tentang penyakit dan
upaya pengobatan dan perawatannya seperti pemberian suntikan, perawatan pada luka
dengan menggunakan alcohol 70% dan kassa steril dan lain-lain.
Daftar pustaka
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI. 2012.
Profil Data Kesehatan Indonesia. http://www.depkes.go.id. Update: 28
februari 2012.
Hidayat, AA. 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1.
Jakarta: Salaemba Medika.
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta:
TIM.
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar